Hari semakin panas, matahari tepat diatas kepala ketika aku menginjakkan kaki di sekitar sungai Makekal dimana daerah ini merupakan pintu gerbang memasuki areal pemukiman suku Orang Rimba. “Wow!” tidak aku bayangkan ketika tiba disana, terlihat rumah mewah layaknya rumah yang ada di sekitar Pondok Indah. Spontan isi kepalaku bertanya,“milik siapakah rumah sebesar ini di tengah hutan?”belum lagi dengan jejeran truk, traktor, batang-batang kayu yang rapih bertumpuk dan bedeng-bedeng buat para pekerjanya.”Wuih”, kaya sekali orang ini”. Bisik dari dalam hatiku.
Rumah tersebut adalah milik Bedul Kayo, pengusaha lokal paruh baya yang telah berhasil membangun kerajaan kecil di hutan belantara walau entah dia bisnis apa akupun ngga terlalu bernafsu untuk menggali informasi selanjutnya, yang kutahu arti Bedul Kayo adalah Bodoh Kaya. Masa bodoh dengan semua hartanya darimana karena rencanaku saat itu adalah bertemu dengan teman-teman dari suku Orang Rimba dan rumah tersebut adalah tempatku transit dari Sorolangun menuju Rimba Bukit Dua Belas.
Didepan teras rumah Bedul Kayo aku bertemu dengan salah satu perwakilan dari suku Orang Rimba, namanya Pengendum. Pengendum adalah murid yang pernah di ajarkan menulis dan membaca oleh Butet Manurung dan sekarang menjadi kader bagi suku Orang Rimba.
Dari rumah Bedul Kayo aku melanjutkan perjalanan dalam hutan menuju tempatku berkemah, sayangnya hutan yang ku lewati sudah bukan hutan liar yang ku bayangkankan yang ada hanyalah hutan karet yang tak terurus dengan banyaknya rumput liar dan belukar. Hari sudah sore dan tepat pada sebuah sungai dimana aku dapat menggunakan keadaan itu untuk mencuci badan yang telah beberapa hari ini tak pernah ku lakukan dan disinilah aku akan membuat kemah tuk bermalam beberapa hari.
Matahari telah menyinari tendaku, panasnya membangunkanku dari tidurku yang tak nyenyak tepat jam enam pagi. Tak ada nyanyian merdu kicauan burung pagi, tak ada hijaunya pepohonan rindang yang tertutup kabut. Hanya aroma mie instan yang menggoda kedua lubang di hidungku.
Setelah sarapan dan sedikit berkemas, kulanjutkan perjalanan menuju SOKOLA dimana tempat ini adalah tempat belajar anak-anak suku Orang Rimba. Perjalanan melintasi beberapa bukit dengan berjalan kaki, udara yang panas membuat kaos yang ku gunakan basah semua ketika aku tiba di sebuah rumah kayu sederhana yang sudah mulai doyong termakan usia dan cuaca.
Beberapa jam aku berjalan kaki melintasi beberapa bukit yang telah terbuka, tak terlihat jejeran hijaunya pepohonan hutan tropis, tak terlihat hewan-hewan penunggu rimba. Aku berjalan bersama Pengendum.
Hutan terlihat terbuka, sayup-sayup terdengar suara mesin pemotong pohon yang sedang bekerja entah siapa yang sedang melakukannya, entah penduduk atau para pekerja pemilik HPH yang kurasakan saat itu berjalan kaki di hutan tropis Sumatera terasa gerah sekali.
Tak ada kata sembutan, tak ada salam pertemuan apalagi tarian adat yang ada hanyalah pandangan tajam para penghuni rimba, hal seperti ini biasanya mereka lakukan untuk mengamati pendatang baru atau para tamu yang mereka sebut orang luar atau orang putih “, kata Pengedum sang juru bicara kami.
Kesan yang menyeramkan ketikaku datang disana, memang semua hanya diam dan mamandangiku dan setelah Pengendum memperkenalkanku kepada sang kepala adat atau Temenggung terlihat mereka mulai dapat menerimaku.
Aku mulai diperkenalkan satu persatu dengan beberapa penduduk, susah untuk menghafal nama mereka seketika saat itu, namun setelah seharian bermain aku mulai dapat menghafalnya itupun hanya beberapa saja seperti Peconteng, Menusur, Berapit dan… ah masih tetap saja susah aku mengingatnya sampai saat ini apalagi mengingat nama-nama gadisnya.
Ada yang menarik selama bermain disana, akupun mencari tahu asal usul mereka dengan mendengarkan cerita dari Temenggung yang juga aku lupa namanya. Begini cerita asal usul mereka :“Berasal dari Adam yang menurut mereka juga sebagai Raja Jambi. Dengan menggunakan “Tempo “ atau patung tanah berbentuk perempuan Adam membawa patung itu kepada Tuhan untuk di berikan nyawa. Dengan meniupkan angin kedalam genggaman tangan Adam, Tuhan memberikan nyawa kepada “Tempo” itu. Diperjalanan ternyata genggaman tangan Adam terbuka hingga angin yang di tiupkan Tuhan lenyap. Adampun kembali meminta angin kepada Tuhan. Lebih kuat Adam menggenggam tangannya hingga Adam dapat memasukan angin tersebut ke dalam mulut “Tempo”.
Karena “Tempo” berjenis kelamin wanita maka Adam meminta kepada Tuhan untuk menikahinya dan Tuhan pun menyetujuinya hingga dari perkawinan itu Adam memiliki 2 orang anak laki-laki dan 2 anak perempuan yang akhirnya anak-anak Adampun saling menikah dengan syarat anak pertama harus menikah dengan anak ke tiga, sementara anak ke dua menikah dengan anak ke empat hingga beranak pinak. Selama beratus-ratus tahun mereka nhidup dengan ajaran yang dianutnya hingga suatu saat datanglah sebuah ajaran agama dan mereka dipaksa untuk memeluk dan meyakininya, karena sebagian keturunan mereka tidak menyetujuinya maka mereka lari ke hutan hingga akhirnya mereka menyebut diri mereka “Orang Rimba”.
Entah benar atau salah, begitulah sang Temenggung bercerita apa adanya dan aku hanya mengangguk-angguk saja layaknya murid sekolah yang baik.
Seharian penuh aku bermain dengan mereka setelah aku mendengarkan asal usul mereka dan larangan-larangan apa saja yang tak boleh di langgar walau aku hanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat permainanku hari itu sangat membuat aku mengerti dengan cara mereka menghargai hidup. Hari telah sore ketika aku harus kembali ke kemah tempatku menginap. “Huh jalan lagi”, Cape deh bisikku dalam hati.
Malam berkemah di pinggir sungai Makekal yang tenang membuat tidurku maju lebih cepat dari kebiasaan tidur di rumah, tak ada lantunan merdu jangkrik sebagai irama pengiring tidur , tak ada lolongan serigala yang menjaga tidurku walau akhirnya kelelahanlah yang menhantarkanku keperaduan.
Pagi ini keriuhan beberapa suara anak-anak rimba yang membangunkanku entah jam berapa mereka datang yang jelas aku terbangun tepat jam tujuh lebih dua belas menit. Bersama-sama kamipun menikmati santap pagi dengan menu yang aku siapkan.
Satu hari lagi aku akan bermain dengan suku Orang Rimba, di temani anak-anak suku rimba aku berjalan kembali masuk hutan
menuju tempat kemarin kami bermain, kali ini aku ingin tahu bagaimana mereka mencari makan, membesarkan anak bahkan membuat anak….”hehehe ngga apa-apakan kalo info yang satu ini aku catat lumayan buat nambah referensi?”, sambil tertawa aku bertanya kepada Temenggung.
“Pertanyaaan terakhir tadi hanya untuk membuat suasana menjadi ramai saja, bukan buat dicatat atau bahkan di lakukan lho”, ungkapku kepada para para penghuni rimba dan mereka pun tertawa setelah Pengendum menterjemahkannya ke bahasa mereka.”Dasar otak mesum”, bisikku sendiri pada hatiku.
Hari ini aku bermain sambil membuat perangkap-perangkap binatang hutan yang dapat dimakan seperti tikus hutan, ikan, tupai, babi hutan bahkan rusa ataupun binatang besar lainnya. Setelah serius belajar dan mempraktekan sayangnya aku ngga di ajarkan bagaimana caranya untuk mengetahui dimana lokasi-lokasi tempat binatang itu berada atau bagaimana cara aku dapat mencium kedatangan para binatang tersebut.
Akupun bertanya dalam hati, “Apakah binatang-binatang yang mereka buru masih ada di hutan sana, karena yang aku lihat hutan telah berubah menjadi lahan kebun liar yang tak terurus?”.” Ataukah mereka akan bergeser di pinggir-pinggir jalan antara jalan di lintas Jambi dan Padang setelah tanah mereka ditukar dengan sepeda motor butut saat kebun mereka tinggal menunggu musim petik?”. “Atau dengan tangan berminta-minta seperti yang sering aku lihat jika sedang menuju Padang ketika mengantar bekas kekasihku yang tak menjadi istriku saat pulang kampung setiap tahun?”. Ah jadi ingat masa lalu cintaku yang kandas kala orang tua masih menjodohkan anaknya. Semua aku rasa adalah kebajikan para pemimpin daerah untuk mengerti bahwa suku Orang Rimba ini merupakan aset bagi budaya mereka , aset untuk menjaga rimba dengan peraturan adat yang mereka buat secara bijak untuk menjaga kelangsungan hidup generasi mereka mendatang.
Biar saja urusan itu milik pejabat daerah yang berwenang, yang jelas aku datang ke rimba hanya ingin menambah ilmu, teman dan pengalaman belajar menghargai hidup dalam bumi yang ku pijak dengan bijak.